Mengulik Tradisi Nyadran Di Temanggung

Setiap bulan Sya'ban di beberapa wilayah Temanggung mengadakan nyadran. Sebuah adat yang dilakukan setelah melakukan besreh atau membersihkan makam. Ada beberapa sumber yang menyebutkan jika adat ini berasal dari ajaran agama Hindu kemudian diasilimasikan ke dalam ajaran Islam oleh wali songo. 

Sebagaimana kita ketahui, para wali di tanah Jawa menyebarkan ajaran Islam melalui budaya dan adat yang berkembang di masyarakat. Metode ini cenderung efektif, sehingga banyak masyarakat yang menjadi muslim melalui dakwah para wali.

Ternyata ada versi lain dari sejarah nyadran. Menurut Mbah Zaenal, imam masjid Desa Kwarakan nyadran ini dilakukan bukan sebagai bentuk mengikuti kebiasaan agama lain melainkan sebagai bentuk rasa kebersamaan. Beliau menuturkan pada zama dahulu setiap menjelang bulan Ramadhan masyarakat membersihkan makam secara bersama-sama dan saling bergotong royong. Mereka membawa bekal dari rumah kemudian makan bersama setelah membersihkan makam. Dari kebiasaan ini akhirnya ada yang mencetuskan untuk makan bersama tetapi dengan pakaian yang lebih rapi. Akhirnya mereka pulang terlebih dahulu bebersih kemudian membawa makanan dan dimakan bersama.

Lambat laun kebiasaan itu menjadi berkembang. Waktu pelaksanaan nyadran tidak dilakukan dalam waktu bersamaan dengan berseh makam. Berseh dilakukan sepekan sebelum nyadran dilakukan. 

Ngapain aja sih selama nyadran? 
Masyarakat akan menyiapkan banyak sekali makanan. Pada zaman dahulu mereka membawa tenong (red: wadah besar terbuat dari bambu) sebagai tempat nasi dan lauk plus snack. Sekarang sudah jarang yang menggunakan tenong, sudah beralih membawa rantang.

Setiap anggota keluarga membawa nasi tumpeng, ingkung, sayuran, lauk, dan aneka macam snack. Setelah masyarakat berkumpul dilakukan doa bersama, mendoakan keluarga yang sudah meninggal. Kirim doa gitu kali ya bahasanya. Setelah berdoa mereka makan makanan yang dibawa dan saling bertukar makanan. Biasanya anak-anak sangat antusias mengikuti acara nyadran. Karena, mereka akan mendapatkan ayam dari orang yang duduk di sebelah atau depan mereka.

Kebiasaan lain ketika nyadran tiba adalah munjung (red: memberikan nasi beserta lauk pauk kepada saudara jauh). Kata Mbah Putri zaman dahulu beliau munjung ke 35 orang. Nasi yang diantarkan bukan hanya satu kotak, tapi satu bakul bambu yang besar. Lauk yang diberikan biasanya ayam, telur, sayur cecek, dan snack masing-masing satu piring. Untuk menyiapkan semuanya Mbah Putri akan meminta bantuan beberapa orang. Padahal jaman dahulu belum ada kendaraan jadi orang yang mengantarkan harus berjalan kaki. Bisa dibayangkan, berapa banyak budget yang dikeluarkan untuk nyadran ini? 

Untuk sekarang kebiasaan munjung itu tidak seheboh jaman dahulu. Paling hanya diberikan kepada beberapa sanak saudara saja. Kalau ibuku biasanya munjung ke 3 orang.

Nuansa yang dibangun oleh masyarakat adalah nuansa kekeluargaan. Memang sih, ada beberapa pihak yang kadang mengkritisi. Menurut mereka kebiasaan nyadran ini memberatkan bagi warga yang kurang mampu. Bagi yang kurang mampu terkesan memaksakan diri. Tapi, ada juga yang berpendapat itu malah menjadi motivasi untuk mereka bekerja. Perayaan nyadran dan lebaran menjadi sesuatu yang ditunggu. Mereka rela menabung untuk melakukan dua kegiatan tersebut. Bahkan bisa dibilang setiap selesai melakukan pekerjaan mereka akan berkata, ini disimpan untuk nyadran atau lebaran.

1 komentar:

  1. Kampung bapak mertuaku di Temanggung. Baru tahu soal ini 🤩

    BalasHapus

Banyak Dilihat

Pengikut

Pengunjung

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Labels

inspirasi tania. Diberdayakan oleh Blogger.