Biografi Sapardi Djoko Damono



Sapardi Djoko Damono- Seorang pujangga multitalenta dengan bahasa sederhana dan kaya akan makna. Sastrawan yang tetap berakarya meski telah memasuki usia senja. Meski telah habis usia tiap bait karyanya masih melekat dalam jiwa para penikmat sastra. Tak ada rahasia khusus dalam racikan katanya, semua mengalir seperti biasa. Mari kita mengenal lebih dekat dengan sosoknya dalam Biografi Sapardi Djoko Darmono atau dikenal juga dengan sapaan SSD.


Mengenal Sapardi Djoko Damono

Tanggal 20 Maret 1940 bertepatan dengan bulan Sapar dalam penanggalan jawa merupakan hari bahagia bagi pasangan Sadyoko dan Sapariyah. Tangis pertama bayi laki-laki itu sekaligus menjadi kisah awal untuk mereka menjadi sosok ayah dan juga ibu. Sesuai dengan bulan kelairannya, anak sulung mereka diberi nama Sapardi Djoko Damono.

Sapardi dilahirkan di Kampung Baturon Solo yang merupakan rumah kakek dari jalur ayah. Kakeknya merupakan abdi dalaem kasunanan Surakarta dan memiliki keahlian dalam membuat wayang kulit.

Keluarga kecil ini tinggal di Baturono selama 3 tahun. Pada tahun 1943 mereka pindah ke sebuah rumah kontrakan di kampung Dhawung. Pada saat tinggal disini, Sapariyah hampir direkrut menjadi anggota tentara Jepang. Tetapi, tidak jadi karena waktu itu beliau sedang mengandung anak kedua. Kelak ketika anak itu lahir diberi nama Soetjipto

Tahun 1945 Sadyono dan keluarga pindah ke rumah sang istri di desa Ngadijayan. Rumah cukup luas dan besar, sayangnya ketika ayah dari Ibu Sapardi meninggal rumah itu sudah digadaikan dengan harga yang cukup murah. Hasil dari penjualan rumah tersebut kemudian dibagi tiga antara Sapariyah dan dua saudara lainnya. 

Selanjutnya pada tahun 1957 mereka pergi meninggalkan Ngadijayan dan membeli tanah di Desa Komplang. Sebuah desa yang masih sepi dan tidak ada aliran listrik. Menurut Sapardi, hal ini dilakukan oleh sang ayah agar dapat membeli lahan luas dengan harga murah. Sejak tinggal di Komplang kebiasaan Sapardi untuk keluyuran tidak bisa lagi dilakukan. Saat disinilah dia banyak melakukan perjalanan batin dalam kesendirian. Tepat di bulan November, Sapardi mulai belajar membuat puisi.

 

Riwayat Pendidikan

Sapardi Djoko Damono mengenyam pendidikan pertama di Sekolah Rakyat (SR) Kraton Kasatriyan Solo. Sebuah sekolah yang diperuntukkan untuk kalangan atas pada masanya. Meski demikian kepribadian Sapardi tetaplah sederhana. Selanjutnya beliau belajar di SMP 2 wilayah Mangkunegaran (sekarang SMP N 2 Solo) lulus pada tahun 1955. Sejak duduk di bangku SMP Sapardi sudah mulai aktif mengirimkan puisinya ke media masa.

 Setamatnya SMP melanjutkan ke SMA 2 di Margoyudan (SMA Negeri 2 Surakarta) lulus pada tahun 1958. Di bangku SMA ini Sapardi bertemu dengan seorag teman yang akhirnya menjadi salah satu maestro di dunia seni lukis, Jeihan Sukmantoro. Kedekatan dengannya membuat Sapardi tertarik pada seni lukis. Ada beberapa karyanya yang ikut dilelang untuk kegiatan amal.

Studinya berlanjut ke jurusan Sastra Barat (Bahasa Inggris) Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada (UGM). Pada tahun 1964 beliau lulus dari UGM. Kemudian pada tahun 1970-1971 Sapardi sempat memperdalam ilmu tentang Humanities di University Of Hawai Honolulu. Tidak cukup sampai disitu, pada tahun 1989 Sapardi dinyatakan lulus dari program doktoral Fakultas Sastra UI.


Sapardi dan Dunia Akademik

Bekerja menjadi dosen merupakan cita-cita Sapardi sejak lama. Setelah lulus dari UGM sempat menjadi dosen tetap di IKIP Malang Cabang Madiun pada tahun 1964 - 1968. Kemudian setelah itu, menjadi dosen tetap di Fakultas Sastra-Budaya Universitas Diponegoro Semarang (1968-1973). Sampai dengan masa pensiunnya, beliau menjadi dosen di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1974 - 2005). Bahkan beliau juga sempat menjabat sebagai Dekan Fakultas Sastra UI pada tahun 1996-1999.

Sapardi dalam Karya

Sejak berusia 17 tahun tepatnya saat duduk di bangku SMP, Sapardi sudah mulai aktif menulis. Selain menulis puisi Sapardi juga pernah menulis cerita anak. Akan tetapi, waktu itu tulisannya ditolak penerbit. Pihak redaksi berpendapat cerita yang dibuat Sapardi tidak masuk akal untuk usia anak kecil. Dia menceritakan pengalaman saat ibunya mengantarkan Sapardi dan sang adik ke rumah ayah dan istri keduanya. Menurut Sapardi, dalam dunia puisi orang tidak pernah memikirkan tentang masuk akal ataupun tidak. Dalam menulis puisi Sapardi merasa lebih bebas untuk berekspresi.

Hujan di Bulan Juni dan Aku Ingin menjadi judul puisi yang sangat lekat dengan sang maestro. Hujan di Bulan Juni juga telah dibuat menjadi novel dan beberapa waktu yang lalu di angkat menjadi salah satu film layar lebar. Sumbangan Sapardi terhadap dunia sastra Indonesia sangat besar. Selain memberikan warna baru dalam dunia puisi Indonesia, beliau juga telah menterjemahkan beberapa buku asing. Hal tersebut cukup membantu masyarakat Indonesia untuk menikmati karya sasrta luar. Selain itu juga menambah kekayaan bahasa Indonesia.

Sapardi selalu mengkuti banyak event baik dalam dan luar negeri untuk menmabah wawasannya dalam bidang sastra. Selain menulis, beliau juga aktif di beberapa lembaga sastra. Antara lain: anggota redaksi majalah Horison (1973), Direktur Pelaksana Yayasan Indonesia Jakarta (1973-1980), Sekretaris Yayasan Dokumentasi Sastra H.B. Jassin (1975), anggota Dewan Kesenian Jakarta (1977-1979), dan masih banyak lagi.

 

Penghargaan

 Karya dan nama besar Sapardi Djoko Damono tidak perlu diragukan lagi. Tidak mengherankan jika beliau mendapatkan banyak sekali penghargaan baik dari dalam maupun luar negeri. Beberapa penghargaan yang didapatkan Sapardi antara lain: Cultural Award (Australia, 1978), Anugerah Puisi Putra (Malaysia, 1983), SEA Write Award (Thailand, 1986), Anugerah Seni Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1990), Kalyana Kretya dari Menristek RI (1996), Achmad Bakrie Award (Indonesia, 2003), dan ASEAN Book Award (2018)


Kisah Cinta

Sapardi Djoko Damono menikahi Wardiningsih yang merupakan adik angkatannya semasa kuliah di UGM. Karya-karya romantisnya terlahir selama masa pacaran. Hujan di Bulan Juni yang merupakan salah satu puisi fenomenal ternyata merupakan ungkapan hati Sapardi kepada kekasihnya. Biasanya di bulan Juni datang musim kemarau, tetapi kehadiran Wardiningsing dalam kehidupan Sapardi bagaikan tetasan air hujan di saat kemarau. Dari pernikahannya tersebut lahirlah dua orang anak satu laki-laki (Rizki Herniko) dan satu perempuan (Rasti Sunyadani).

 

Hari-hari terakhir

Pada tanggal 19 Juli 2020, dunia sastra Indonesia telah kehilangan salah satu maestronya. Sapardi Djoko Damono meninggal seteah bertarung melawan penyakit Paru-paru yang di deritanya. Beliau meninggal di RS Eka BSD Tangerang Selatan. Prosesi pemakaman hanya di dihari pihak keluarga dna tetangga terdekat, karena pelaksanaan pemakaman harus mengikuti prokes yang  di tetapkan. Ya, sang maestro meninggal di saat Pandemi Covid sedang melanda negeri ini. Beliau dimakamkan di TPU Giritama Tojong, Kabupaten Bogor.


Sumber :

https://kumparan.com/potongan-nostalgia/kisah-hidup-sastrawan-sapardi-djoko-damono-penyair-hujan-bulan-juni-1tpkZAKJ6tt/2

https://gasbanter.com/biografi-sapardi-djoko-damono/#Sapardi_dalam_Dunia_Akademisi

https://id.wikipedia.org/wiki/Sapardi_Djoko_Damono

http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Sapardi_Djoko_Damono

https://lordbroken.wordpress.com/2013/06/17/biografi-dan-kumpulan-puisi-sapardi-djoko-damono/

https://www.idntimes.com/news/indonesia/fitang-adhitia/biografi-singkat-sapardi-djoko-damono-penyair-legendaris-indonesia/5


0 comments:

Posting Komentar

Banyak Dilihat

Pengikut

Pengunjung

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Labels

inspirasi tania. Diberdayakan oleh Blogger.