Selamat Jalan, Bapak Wisnu Graito Usodo



Belum ada seumuran jagung aku mengenal beliau. Pak Wisnu Graito Usodo begitu namanya. Beliau menjabat sebagai Kasubbid di bidang ekonomi Bappeda. Seseorang yang paling sering “main” ke ruang Sosbud dan Pemerintahan. Pertama kali berkenalan dengan beliau, langsung ditanya asal daerahnya mana. Aku menjawab kalau aku dari Kaloran.
“Kalorannya mana?,” tanya beliau.
“Kwarakan, Pak,” jawabku.
Aku sudah membayangkan ekspresi orang yang mendengar desa Kwarakan.
“Dalane ndak ijeh angel?,” begitu kalimat lanjutannya.
Arghhh sebagai alumni desa Inpres, banyak RTLH, dan berada di batas kabupaten Temanggung. Hm.. suasananya masih sejuk lhoh. Sekarang mah udah bagus jalannya.

Setelah sekian lama perbincangan di awal pertemuan kami, ternyata beliau mengenal ibuku. Beliau pernah bertugas di Kecamatan Kaloran. Katanya, dulu setiap minggu sekali beliau datang ke desaku. Kata ibu, beliau adalah sosok guru untuk ibuku dalam hal pemerintahan.

Pagi ini, saat apel terdengar pengumuman dari masjid samping Kantor. Yang intinya mengabarkan kalau salah satu warga di RT nya meninggal dunia. Suasana sangat hening saat itu. Kemudian, suara itu menyebut nama, “Wisnu Graito”. Aku masih berfikir, mungkin ada nama Wisnu lain di lingkungan pak Wisnu tinggal. Ternyata, tidak. Ya... Wisnu Graito yang disebut dalam pengumuman itu adalah Bapak Wisnu Graito Usodo, yang kemarin baru saja menyerahkan tulisan untuk aku ketik. Seorang bapak, yang sering menyapa dan bercanda dengan biasa. Aku merasa dekat dengan beliau, terlepas dari beliau juga dekat dengan ibuku.

Pagi ini, aku membawa majalah Tempo dari Pak Nas, karena ingat saat beliau membuka-buka halaman majalah ini. 

Beliau berkata, “Sudah lama aku tidak membaca majalah seperti ini.” Kemudian berkomentar,”Ini lho..sorong ternyata sudah seperti ini, selama ini kita menganggap Sorong itu tertinggal, ternyata sudah menjadi sebuah kota yang maju... kota-kota lain itu sudah bagus-bagus pembangunannya. Perencanaannya sip! Temanggung ke.. jan”

Dengan jawaban seadanya aku menjawab,”Lho... Bappeda kan pak Wisnu. Ayo pak Wisnu buat perencanaan yang sipp.”

Lalu kami membicarakan tentang Jember dan beberapa kota lain. Hari ini, aku membawa majalah ini karena ingin berbicara tentang Temanggung dengan beliau.

Foto sebelum Lava Tour
Semoga baktimu untuk negeri ini dicatat seagai salah satu amalan kebaikan. Selamat jalan bapak. Hari ini, aku berjanji dalam hati suatu hari nanti Temanggung akan memiliki sesuatu yang berbeda dari Kabupaten/Kota lainnya.







Nyanyi dengan nada amburadul

Read More

Haji Agus Salim: Diplomat yang Tak Mampu Membeli Kain Kafan



Sampai sekarang, aku masih terusik dengan kisah Haji Agus Salim saat kematian anaknya. Bapak bangsa yang tak mampu membelikan kain kafan untuk anaknya. Sakitnya tuh ga cuma di sini, tapi dimana-mana. Seseorang yang selalu memimpin rombongan melakukan diplomasi. Saat di luar negeri dia akan sejajar dengan para pemimpin negara lainnya, hanya membeli satu potong kain kafan saja tidak mampu. Apa ini yang disebut penghargaan terhadapa seseorang yang telah berjasa, hingga mengantarkan Indonesia pada maqamnya. Bangsa merdeka. Menetes air mata ini, masihkah ada hari ini anak bangsa yang seperti dia?.

Hari ini, kita semua anak bangsa telah berhutang banyak padanya. Hari ini, seluruh rakyat Indonesia telah merasakan nikmatnya menjadi bangsa yang merdeka karena usahanya. Hari ini, orang-orang berteriak karena tak mampu membeli rumah. Hari ini, orang-orang berebut mendapatkan uang tunjangan. Hey... Haji Agus Salim juga tak pernah mempunyai rumah, hidupnya selalu berpindah dari satu kontrakan ke kontrakan lainnya. Haji Agus Salim terkadang hanya makan dengan kecap. Dia tidak mampu membeli kain kafan untuk anaknya....

Hari ini, para pejabat negeri zamrud khatulistiwa ribut karena mobil dinas yang tidak nyaman. Gaji yang tidak cukup. Heloow... apa yang sudah kalian berikan kepada negeri ini? Sampai berani menuntut begitu banyak?. Coba bandingkan hidup kalian dengan kehidupan Agus Salim. Dia seorang petinggi negara, orang penting dalam sebuah partai besar, pemilik surat kabar. Dan dia tidak mampu membeli kain kafan untuk anaknya?.

Seandainya Agus Salim hari  ini masih ada, apa kalimat yang akan dia ungkapkan kepada generasi setelahnya. Generasi yang bertugas menjaga NKRI ini agar tetap pada kehormatannya. Seandainya, Sang Diplomat penguasa sembilan bahasa ini hidup pada zaman sekarang apa yang akan dia katakan?. Mungkinkah dia akan menyesal pernah memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini? Bangsa yang telah diwariskan kepada para penjilat, dan mencoba mengambil keuntungan dari setiap posisi yang didapatkan. Masih adakah ketulusan dari anak bangsa ini? Yang benar-benar ingin memberikan apa yang dia punya? Apakah bangsa ini berisikan orang-orang yang selalu berharap mendapatkan sesuatu dari bangsanya?Adakah abdi negara yang sesungguhnya? Mengabdi tanpa tendensi. Sekali lagi aku ingin bertanya, apa perasaan yang dirasakan saat mendengar bahwa Bapak Pendiri Bangsa Indonesia pernah tidak mampu memberlikan kain kafan untuk anaknya?.
Read More

Jogja Selalu Istimewa



Pagi itu aku menghirup segarnya udara pegunungan yang berbeda dari biasanya. Berjarak hanya 4 Km dari pucak Merapi. Dari samping rumah biasanya hanya nampak biru dengan sedikit kepulan asap di atasnya. Sayup terdengar lantunan ayat Ar-Rahman,“Dan nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan.” Hatiku bergetar bisa menatap sebuah mahakarya Tuhan. Subhanallah... beberapa waktu yang lalu tempat ini bersuhu sekitar 6000o celcius. Kalau buat goreng telur langsung gosong kayaknya.
Beberapa orang berteriak menandakan kegembiraan bisa mencapai titik ini. Tapi aku, meneteskan air mata. Sepanjang perjalanan tadi sopir yang mengantarkan kami dalam lava tour (jadi nama acaranya lava tour ya...) menceritakan tentang kejadian saat Merapi meletus beberapa saat lalu. Cerita beliau ini yang membuat aku terdiam, kemudian terisak. Jogjakarta memang istimewa.
Aku membayangkan, bagaimana proses bangkitnya warga lereng merapi dari keterpurukan. Rumah, harta, bahkan keluarga mereka luluhlantak di sabet wadus gembel. Tempat bermukim mereka di relokasi karena sudah tidak aman lagi untuk dihuni. Sumber air mati, sungai mengering. Aku membayangkan, jika aku dalam posisi mereka entah butuh berapa lama untuk bisa bangkit dari keterpurukan.
Sebidang tanah yang awalnya rumah salah satu penduduk, sudah hancur akhirnya di sulap menjadi sebuah museum merapi. Barang-barang yang rusak karena terjangan lava di jadikan pajangan, dijadikan objek wisata. Jalan yang rusak, tidak berbentuk dijadikan jalur off road. Luar biasa, mereka boleh kehilangan sumber penghasilan utama sebagai petani tetapi, mereka berhasil membuka kran penghasilan lain. Melalui jalur pariwisata.
Setiap musibah Allah selalu menyertakan hikmah. Ingin memberikan pelajaran kepada seluruh hambanya. Yakinlah... di balik batu yang besar tersimpan mata air yang menyegarkan, di balik terik matahari tersimpan awan yang meneduhkan, di balik hujan yang lebat telah disiapkan pelangi untuk kita. Jogja memang selalu istimewa
Read More

Sang Diplomat



Dalam edisi khusus kemerdekaan (12-18 Agustus 2013), majalah Tempo mengangkat biografi tokoh  kemerdekaan. Beliau merupakan salah satu Founding Father negeri ini. Seorang diplomat ulung, yang menguasai sembilan bahasa.  Laki-laki ini pernah diasingkan di Brastagi bersama dengan Soekarno dan Sutan Sjahrir. Agus Salim, begitu nama yang tersemat pada dirinya. Membaca kisah hidupnya, kita akan diajak untuk tersenyum, menaikkan alis, berdecak kagum, dan meneteskan air mata.

Waktu itu Belanda menuduh Indonesia telah melakukan pelanggaran Perjanjian Linggarjati, karena berusaha untuk mendapatkan pengakuan secara de jure dari negara-negara Arab. Agus Salim berkata kepada pihak Belanda, “... Kalau Tuan-tuan menganggap usaha kami mendapatkan pengakuan de jure negara-negara Arab atas Republik Indonesia bertentangan dengan Perjanjian Linggarjati, apakah aksi militer yang Tuan lancarkan terhadap kami sesuai dengan Perjanjian Linggarjati? Pengakuan de jure yang kami peroleh adalah akibat dari aksi militer Tuan. Kalau Tuan-tuan melancarkan sekali lagi aksi militer kepada kami, kami akan mencapai pengakuan de jure dari seluruh dunia. 

Sebuah kisah yang selalu saya ingat sejak masih duduk di bangku Sekolah Dasar adalah peristiwa saat Agus Salim berpidato. Pada saat Agus Salim berpidato sebagian hadirin mengucapkan,”Mbek... mbek...,” untuk mengejek Agus Salim karena jenggotnya. Salim spontan bereaksi,”Saya tidak mengira bahwa di sini banyak juga rupanya kambing yang hadir. Kepada ketua rapat, saya minta supaya kambing-kambing itu dikeluarkan saja dari gedung ini.” Selalu mempunyai jawaban cerdas dalam situasi yang sepertinya sulit he....

Agus Salim tidak hanya fasih berbahasa, tetapi beliau juga mengasai pelajaran Ilmu Pasti. Banyak orang yang akan berfikir bahwa dia adalah orang yang sangat cerdas. Padahal, pengetahuan yang dia miliki tidak datang begitu saja. Dia selalu rajin dan giat belajar, untuk menghindari diajak bermain oleh teman-temannya dan disuruh-suruh oleh orang tuanya Salim kecil belajar di atas loteng. Agar loteng terang dia membuka genteng, agar cahaya matahari dapat menerangi saat belajar. Padahal, tinggi loteng rumahnya itu 3,7 meter. Ga kebayang gimana caranya naik....

Satu episode hidup Agus Salim yang membuat menangis adalah saat menceritakan kesederhanaan hidupnya. Agus Salim adalah seorang yang berjasa dalam membangun negeri ini. Seorang diplomat ulung. Kata-katanya selalu menggetarkan dan berbobot. Kefasihan dalam berbahasa tidak diragukan lagi. Kecerdasan yang dimilikinya pun banyak orang yang mengakui. Tetapi, dia tidak mempunyai rumah. Sering berpindah dari satu kontrakan ke kontrakan yang lain. Kontrakannya pun bukan sebuah gedung yang megah. Pernah tinggal di sebuah kontrakan di pinggir rel kereta api. Ruang tamunya kosong, tidak ada kursi. Duduk beralaskan tikar. Jalan menuju kontrakan itu penuh lubang, susah untuk dilalui. Terkadang keluarganya kehabisan uang untuk membeli lauk, hanya akan makan dengan kecap. 

Hal yang paling membuat sangat kaget adalah, saat kematian anaknya. Saat itu, Agus Salim tidak mempunyai uang untuk membeli kain kafan untuk anaknya. Akhirnya, dia mengambil taplak meja dan kain kelambu yang sudah dipakai kemudian mencucinya untuk membungkus jenazah. Ia menolak pemberian kafan dari kawannya. Katanya,”Adapun untuk yang mati, cukuplah kain itu. selagi dia masih hidup, dia memerlukan pertolongan, akan tetapi sekarang dia sudah tidak lagi memerlukannya.” Saya membayangkan dalam posisi beliau. Seorang ayah yang sangat tegar dan dapat memahami hakikat hidup yang sebenarnya.

Saya mencoba membandingkan kehidupan Sang Bapak Bangsa ini dengan kehidupan petinggi di negeri ini. Sebuah ironi, pendiri bangsa hidup dengan segala keterbatasan dan penerusnya hidup dengan bermegah-megahan. Dia sangat tulus mengabdikan diri untuk bangsanya, tidak pernah berharap mendapatkan sesuatu dari negara. Sekarang?. Saya teringat tulisan dalam sebuah artikel, kalau tidak salah ada kata-kata M. Natsir yang ditulis di sana. Natsir berkata,”Saat ini baru enam bulan bangsa kita merdeka, tetapi mereka sudah mulai menuntuk untuk mendapatkan balas jasa atas perjuangan yang dilakukan oleh sanak keluarga mereka yang telah gugur di medan perang. Ini baru enam bulan, saya tidak bisa membayangkan bagaimana enam tahun yang akan datang atau 60 tahun yang akan datang.” Yah... negeri ini merindukan sosok yang memilki kepribadian dan kecerdasan seperti para pendiri bangsa ini.

Kita perlu belajar hidup dari The Grand Old Man Indonesia,
Kakek Agung Indonesia. Diplomat Jenaka Penopang Republik.

Read More

Banyak Dilihat

Pengikut

Pengunjung

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Labels

inspirasi tania. Diberdayakan oleh Blogger.