Bersembunyi di Balik Kata Membeli Kebenaran

Hari ini, 14 Februari 2024 Indonesia melakukan pemilihan DPR D Kabupaten, DPRD Provinsi, DPR RI, DPD, dan Presiden dalam waktu yang sama. Inilah pertama kalinya masyarakat Indonesia dengan usia minimal 17 tahun melakukan pemilihan secara bersamaan. Konsentrasi pemilihan seperti terpecah karena partai politik yang biasanya mengkampanyekan partai dan alegnya saja saat ini harus mengkampanyekan Presiden yang di dukung. Meskipun jika dilihat dari segi efisiensi pemilih ini lebih efisien waktunya. Kan cuma sekali aja dapat banyak. 

Tapiii menurut aku, ini juga menjadi hal yang membingungkan. Soalnya kudu belajar banyak mempelajari partai, aleg, dan calon presiden. Mempelajari visi misi dan lain sebagainya. Eh, tapiiii ga semua mau mempelajari itu. Bukan ga mau nding ga sempat karena disibukkan dengan aktivitas mencari sesuap nasi. Kalau dipikir-pikir jumlah pemilih rasional yang benar-benar menilai bagaimana kinerja, track record, rencana pembangunan dan lainnya itu lebih sedikit dari pemilih irasional. Pemilih irasional ini pada awalnya bisa di anggap oleh partai sebagai swing vote atau suara mengambang. Eh bentar, pemilih rasional juga awalnya swing vote sih.

Wah bisa ini kita bicara perbedaan swing vote rasional dan irasional. Soalnya cara pendekatan mereka akhirnya akan berbeda. Swing vote rasional jelas pendekatan melalui visi misi, program, janji, track record. Swing vote irasional ini nih...yang pendekatannya rada ekstrim kadang. Dia di dekati dengan benda. Bisa berupa sembako, uang, baju, dan lain sebagainya. Emang boleh? Sudahlah mari kita akui saja kalau semua partai menggunakan cara tersebut untuk mendapatkan suara dari swing vote irasional. Nggak ada satupun yang enggak deh kayaknya. Partai Islam pun? Iyaaa partai Islam pun. Mereka berkedok sedang membeli kebenaran. Bukan lagi fatwa halal haram katanya, tapi ini tentang penyelamatan. 

Ini jawaban deep banget loh sebenarnya. Kalimat itu harusnya dilandasi oleh ideologi yang jelas dengan kiprah perjuangan yang jelas pula. Masalahnya terkadang terjadi bias niat. Kalau di rasa-rasa nih ya, ga ada satupun partai yang memiliki ideologi jelas. Kalau di awal kemerdekaan kotak ideologi jelas Islam, nasionalis, komunis. Sekarang tu ga jelas banget wkwkwk. 

Misal ada yang mengaku ideologi Pancasila atau Islam juga ga gtu banget deh. Kita sedang disajikan sebuah drama politik dimana semua orang berkedok ingin membeli kebenaran dengan lupa bahwa mereka tidak pernah melakukan tugasnya dalam rangka pendidikan politik kedapa masyarakat. Mereka seolah menikmati kondisi masyarakat yang irasional ini. Minim upaya untuk pencerdasan masyarakat dalam hal kontestasi politik ini. Bagi mereka adalah hal rugi melakukan pendidikan politik atau pemberdayaan masyarakat melalui dana yang dimiliki karena belum tentu akhirnya memilih mereka. 

Stigma, nanti akhirnya kalau fokus pada pencerdasan masyarakat selama bertahun-tahun akan kalah dalam sepagi saja. Nah kan, padahal ini masyarakat butuh edukasi memandang peran mereka dalam negara ini. Butuh edukasi gimana bisa DPR atau presiden akan mempengaruhi hajat hidupnya. 

Jangan setiap tahun bersembunyi di balik topeng membeli kebenaran dari orang dzalim jika ternyata tidak pernah benar-benar menyampaikan kebenaran yang dipercayai. Karena siapa tau hak mereka untuk mendapatkan edukasi tentang kebenaran itu tidak pernah didapatkan. Atau kalian salah dalam memberitahukan kebenaran itu. 

Sudahlah kalian para elit politik..., Kaum cendekiawan..., Plis berikan hak kepada seluruh rakyat Indonesia untuk mendapatkan informasi dan akhirnya mengerti kebenaran yang sedang kalian perjuangkan tanpa bersembunyi dibalik kalimat jual beli suara. 

0 comments:

Posting Komentar

Banyak Dilihat

Pengikut

Pengunjung

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Labels

inspirasi tania. Diberdayakan oleh Blogger.