Tusuk Konde Part 4 (Titik Terang Pertama)



Waktu itu, saat aku masih berusia sekitar lima tahun aku bertemu beliau. Aku sedang menaruh sesaji di dekat pohon besar dekat sendang. Kyai baru saja mengambil air wudu. Dari kejauhan aku mengamatinya. Satu persatu gerakan kulihat, aku sangat takjub melihatnya. Selang beberapa lama kemudian, beliau menggelar sajadah di pinggiran. Melaksanakan sholat dengan khusuk. Kulihat lagi lebih dalam. Beliau sedang menangis sesenggukan seperti sedang mengajukan hajat sambil menengadahkan kepala. Syahdu dan semakin sejuk. Belum pernah aku melihat prosesi sembahyang sehebat itu. Bahkan kakekku yang katanya paling baik di antara pengikut kepercayaan yang lain tidak pernah sedahsyat ini getarannya dalam dadaku.

--
Pertemuan kali ini ditutup manis dengan kisah hidup Uwais al-Qarni. Tidak harus dengan menggendong sapi naik turun gunung, cukup dengan menjadi anak sholih dan baik kita bisa menjadi penerang saat di akhirat nanti. Tetap saja ada pertanyaan dalam diriku, apakah kedua orang tuaku seorang muslim? Kadang ngeri sendiri membayangkan ini.

"Sur, kita bicara di serambi timur, ya", kata Kyai Mojo saat aku sedang menata alat tulis.

Tanpa ba-bi-bu aku langsung mengekor kyai Mojo. Berasa campur aduk perasaanku, tapi aku cukup senang diajak bicara dengan Kyai Mojo. Artinya aku punya kesempatan untuk mencari petunjuk mengenai kedua orangtuaku.

"Tadi kami kenapa, Nduk? Sepertinya gelisah dan raut mukamu menunjukkan kesedihan mendalam", kalimat pembuka dari Kyai Mojo yang membuat aku harus menarik nafas terlebih dahulu sebelum menjawabnya.

"Begini, pak Yai. Sewaktu njenengan cerita tentang bakti seorang anak kepada ibunya, tiba-tiba saya ingat dengan bapak dan ibuk. Dua orang yang harusnya paling saya cintai setelah Allah dan Rasul-Nya tetapi saya benar-benar buta mengenai keduanya. Bahkan, makamnya dimana saya tidak tahu. Bagaimana bisa kedua orang tua saya meninggal? Muslimah mereka? Atau seperti Mbah Kakung?", Isakku mulai memecam keheningan.

Pak kyai tampak menatapku tajam tetapi sorot matanya masih menyimpan beberapa luka. 

"Apakah pak kyai dapat memberi infomaasi tambahan memgenai ayah saya?" tatapanku menyimpan seribu bahasa. 

"Apakah selama ini kamu belum pernah mendengar alasan mereka menghilang?"

"Belum, Yai", jawabku singkat

"Baik, aku akan menceritakan tentang ayah dan ibumu". 

"Ibumu adalah seorang gadis desa cantik dengan paras rupawan. Siapapun yang melihatnya pertama kali pasti akan tunduk dan bisa memberikan apapun diminta. Kehidupannya normal, sampai kemudian dia berusia untuk mencari jalan Tuhan, disinilah anak itu bisa tinggal. Sedangkan ayahmu adalah teman perjuanganku. Kami berdua saling support dalam mendakwahkan aja. Hingga suatu waktu mereka bertemu dan berlanjut kepada hal serius, pernikahan". jelas Kyai Mojo.

"Jadi, bapak dan ibuk saya seorang muslim yang taat?" Tanyaku.

"Ya, mereka berdua adalah hamba Allah yang sangat taat. Mereka baik dan saling menyayangi, tetapi terhalang restu kakekmu. Tapi, bapak ibumu nekat tetap melakukan pernikahan", sambung kyai Mojo

"Kyai, nuwun ngapunten. Wonten tamu madosi penjenengan", kata mbak Santi menyampaikan pesan.

"Owh baiklah, minta menunggu sebentar ya. Saya sedang ada perlu dengan ponakan tercinta". Jawab kyai Mojo

"Sur, perbincangan kita hari ini sudah dulu ya. Lain waktu kita sambung lagi".

"Baik pak Kyai", jawabku.

Punggung Kyai Mojo semakin jauh. Aku masih duduk di serambi. Mencerna apa saja informasi yang aku dapatkan. Aku cukup lega, karena Bapak dan Ibuk menurut cerita itu adalah orang baik. Dan ternyata beliau berdua adalah muslim.

0 comments:

Posting Komentar

Banyak Dilihat

Pengikut

Pengunjung

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Labels

inspirasi tania. Diberdayakan oleh Blogger.