Tusuk Konde : Part 1 Ruwat Rigen



Dingin masih menyelimuti rumah-rumah penduduk di lereng gunung Sumbing. Duduk di depan perapian dengan menyeruput secangkir kopi hitam sambil memakan singkong rebus hangat dan tak ketinggalan satu linting rokok adalah cara paling efektif melawan dingginnya udara sekitar. Tidak dengan lelaki tua itu. Dia masih termenung, duduk di kursi rotang depan rumahnya. Tatapannya tajam menghujam kedepan, urat-urat nampak jelas di raut mukanya. Dia menyimpan banyak sekali amarah dan rasa kecewa. 

"Hari ini seharusnya aku sudah berada di Sendang Kamulyan. Mengambil air bersama penduduk desa. Lalu menuju ke lapangan dengan iring-iringan tumpeng dan aneka penganan. Merapalkan doa keselamatan serta keberhasilan. Bukan malah duduk termenung disini", kata hati Mbah Jati. 

Mbah Jati merupakan sesepuh desa. Beliau biasanya memimpin acara ruwat rigen. Sebuah acara yang bertujuan untuk meminta kepada Tuhan agar panen tembakau tahun tersebut diberikan kelancaran dan berkah berlimpah. Mereka berharap dengan adanya doa bersama ini akan dijauhkan dari kesialan, selalu diberikan kemudahan dalam proses menanam, memanen, serta mengolah tembakau.

Ruwat Rigen akan diikuti oleh 13 desa di Kecamatan Kledung. Masing-masing desa membawa tumpeng dan juga kesenian yang dimiliki. Sejak pagi saat kabut masih menggelayut para petani tembakau akan berkumpul bersama. Festival budaya yang menyatu dengan alam. Keindahan Sumbing dan Sindoro menjadi daya pikat tersendiri selama ruwatan.

Tetapi semua itu hanyalah kenangan. Setelah kejadian beberapa tahun lalu acara Ruwat Rigen dihentikan. Pemberhentian acara ini tentunya menuai pro dan kontra. Tetapi keputusan sudah tidak dapat diganggu gugat. Mbah Djati selaku tetua kampung tidak dapat berbuat banyak. 

"Mbah, unjuane... mumpung tasih anget", suara Suryati memecah lamunan.

"Dokok kono wae ndisik, mbah durung karep", jawab mbah Jati dengan tatapan tetap menuju ke depan.

"Enten nopo, mbah? Sepertinya mbah sedang banyak pikiran?, lembut dan hati-hati Suryati bertanya.

"Aku hanya sedang kangen dengan suasana dahulu saja. Rasanya semua sudah banyak yang berubah. Mbah sudah semakin tua ya, Sur?"

" Ya tua dong mbah, masak semakin muda lo..simbah tu", jawab Suryati

"Ayo, ndang jadi manten. Biar mbah bisa menyaksikan cucu kesayangan naik pelaminan. Mumpung mbah masih sehat lo, nduk", mbah Jati tampak sedang mengalihkan pembicaraan. Dia tidak mau diintimidasi oleh cucunya lebih jauh lagi.

"Nopo to mbah, kulo mlebet riyen nggeh mbah, ajeng umbah-umbah", kata Suryati sambil berlalu meninggalkan kakek kesayangannya. Biasanya kalau si mbah sudah berbicara seperti itu bakal panjang perkaranya. Bukannya aku tidak mau, tapi usiaku masih sangat muda sekali, baru 16 tahun. Misal mau nikah juga harus melalui proses sidang, kan? Lagipula seharusnya aku masuk ke dalam kategori anak usia sekolah yang tidak sekolah.

Meskipun hari ini adalah hari Senin Suryati tidak berangkat sekolah. Dia sudah sekolah sampai bangku SMP. Itupun penuh dengan perjuangan. Bagi masyarakat sini mau sekolah setinggi apapun pada akhirnya akan tetap merawat tembakau. Akhirnya dia hanya cukup sampai SMP. Suryati menerima keputusan Sang Kakek untuk di rumah saja. Merawat lahan dan juga kakeknya. Kedua orang tua Suryati sudah lama meninggal. Dia hidup bersama dengan kakeknya. Meskipun kedua orang tuanya telah tiada dia tidak mengetahui dimana makamnya. Mbah Jati tidak pernah mengajaknya untuk berziarah ke makam kedua orang tuanya. Tetapi, dia cukup mensyukuri atas apa yang dimiliki sekarang. Seorang kakeng yang sangat penyayang meski sering beda pandangan.

 

                                                                                     

0 comments:

Posting Komentar

Banyak Dilihat

Pengikut

Pengunjung

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Labels

inspirasi tania. Diberdayakan oleh Blogger.