Tusuk Konde Part 5 (Pencarian)



Punggung Kyai Mojo semakin jauh. Aku masih duduk di serambi. Mencerna apa saja informasi yang aku dapatkan. Aku cukup lega, karena Bapak dan Ibuk menurut cerita itu adalah orang baik. Dan ternyata beliau berdua adalah muslim.

--
Saatnya aku pulang. Meski hari masih sore tapia gelap sudah mulai datang. Matahari sudah bersembunyi sedari tadi. Kabut pekat dan dingin sudah mulai turun. Butuh penerangan untuk menembus jalan.

Hari ini aku cukup bahagia mendengar penuturan Kyai Mojo. Satu hal yang akan aku lakukan. Mencari jejak ayah dan ibuku di rumah. Aku yakin, kakek pasti menyimpan sesuatu sebagai petunjuk. Barang ibuku atau sukur-sukur fotonya ada disimpan kakek. Tidak mungkin aku bertanya langsung kepada kakek. Kalau melihat hubungan di masa lalu sepertinya kakek marah dan kecewa dengan ibuku. Tapi sekaligus menjadi tanda tanya, kenapa kakek sangat baik denganku. Bahkan ketika akhirnya aku memilih untuk menjadi muslimah ekspresi kakek hanya marah sehari namun kemudian membiarkan aku terus belajar. Meski beliau akan diam dan bersikap dingin setiap aku pergi ke langgar untuk belajar agama dengan kyai Mojo.

"Kulo nuwun, Mbah...", Salamku saat berada di depan pintu. Iya, tidak dengan ucapan salam seperti biasanya, kan kakekku tidak berkenan aku melakukan itu.

"Eh, ada tamu, to? Monggo Pak De..", ternyata di dalam kakekku tidak sendiri, beliau sedang bersama Pak De Tejo. Saudara sepupu ibu dari garis Mbah Jati.

"Iyo, Nduk. Darimana? Kok baru pulang?", Tanyanya

"Biasa dia, sudah kena bujuk rayu si Mojo pendatang itu. Belajar dia sama dia", jawab kakekku dengan nada tidak suka.

"Lhohhh....", Singkat tapi padat dan bermakna apalagi disertai mata yang terbelalak dari Pakde Tejo.

Aku hanya bisa tersenyum tipis dan miris. "Eh, belum ada minum, sebentar njeh Pakde", kataku coba untuk mengalihkan perhatian.

Aku yakin, setelah ini Mbah Jati, kakekku pasti akan menceritakan segala hal buruk tentang kyai Mojo. Seperti biasa, akan mengungkit tentang pendatang yang ingin mengubah tatanan. Baru juga datang sudah memprovokasi warga untuk tidak melakukan ruwat rigen. Terlalu banyak kemusyrikan katanya. Mbah Jati sering bilang bahwa, para wali saja yang menjadi pendahulunya mau meleburkan diri dengan budaya masyarakat. Lah, Kyai MoJo... terlalu kaku untuk diterima di masyarakat pada awalnya.

"Monggo, Pakde..." Tawarku kepada sepupu kakek ini. Sekaligus memotong cerita kakak.
"Tidak duduk sini dulu, Sur?", Tanya pakde.
"Saya masih harus mengerjakan banyak tugas, pakde"
"Tugas apa? Tugas dari Mojo?", Kalimat pakde penuh introgasi. 
"Bukan, pakde. Saya sedang ikut kejar paket. Biar pinter dan bisa mencari pekerjaan nantinya", tetap kucoba tersenyum menanggapi pertanyaan pakde.

Aku tinggalkan dua sepupu itu untuk meneruskan ceritanya. Mumpung kakek masih bercerita di ruang depan ini saatnya aku menjalankan misi. Mencari apapun itu. Aku coba masuk kamar kakek. Tidak sopan memang yang aku lakukan ini. Tetapi tidak ada jalan lain. Aku harus menemukan jejak dari kedua orangtuaku. Tidak mungkin aku terlahir dari batu. Pasti ada rahim yang melahirkan ku. Dan itu adalah putri dari Mbah Jati. 
Misi pertamaku adalah mencari kartu keluarga atau dokumen lain. Sebagi informasi, aku belum tau siapa namanya. Tadi sore kyai Mojo belum menceritakan padaku 

Dengan perlahan aku mulai menggeledah isi lemari. Meskipun aku yang biasa mencuci dan melipat baju Kakek, tetapi tidak pernah boleh menata baju di lemarinya. Ora elok, katak Kakek. Menurut kakek tidak etis jika seorang cucu masuk ke kamar kakeknya. Ada satu kotak hitam, ternyata isinya adalah tusuk konde. Aku tidak mengerti, apa ini? Dibawahnya ada selembar kertas foto. Seorang wanita dengan rambut di sanggul dan menggunakan tusuk konde ini. Dia cantik, apakah dia ibuku?

0 comments:

Posting Komentar

Banyak Dilihat

Pengikut

Pengunjung

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Labels

inspirasi tania. Diberdayakan oleh Blogger.