Tusuk Konde Part 3 (Campuran Masa Lalu)



POV Suryati

Mendengar penjelasan Kyai Mojo hatiku menjadi tidak karuan. Rasanya ingin teriak dan meluapkan segala rasa yang membuncah. Aku benar-benar isi dengan Uwais Al Qarni. Meskipun hal yang dilakukannya berat, paling tidak dia masih bisa berbincang dengan ibunya. Masih bisa memuliakannya, masih bisa merasakan hangatnya pelukan. Aku, si gadis desa biasa benar-benar menantikan keajaiban mengenai kabar dari kedua orang tuaku. Tak terima rasanya dengan rencana takdir Allah, tak adil jika seperti ini, aku menjadi yatim piatu sejak lahir. Harus hidup dengan seorang kakek yang tidak mengerti ilmu agama. Bahkan ketika dikonfirmasi ternyata beliau adalah pemimpin aliran kepercayaan. Sudah jelas tidak mungkin aku bisa seperti Uwais, yang mengajak orang tuanya menyempurnakan rukun Islam.

Arghh seandainya ibuku masih ada pasti aku akan mencoba membawa sapi naik turun gunung Sumbing. Aku ingin berlatih agar kuat membawa ibuku. Aku sangat ingin menjadi anak berbakti, aku ingin membasuh kaki ibu, menyiapkan teh panas untuk bapak. Allah, tidak berhakkah aku menjadi manusia sewajarnya? Seperti teman-teman lainnya? Bahkan sampai hari ini nyekar ke makamnya saja belum. Hanya merapalkan doa di akhir sholat untuk mereka. 

Kenapa semua orang di desa ini seolah menutupi tentang orang tuaku. Apa salah mereka pada desa ini? Setiap aku mencoba bertanya tentang kedua orangtuaku langsung seketika mengalihkan pembicaraan. Bukan hanya kakekku bahkan kyai Mojo juga begitu. Aku sekarang sudah besar, aku yakin pasti bisa menerima kenyataan. 

Apakah ayah dan ibuku tiada tanpa meninggalkan jasad? Sampai tidak ada makam beliau berdua? Aku perlu mencari petunjuk semua misteri itu sendiri. Bulan depan aku sudah berusia 17 tahun. Aku sudah besar, aku berhak tau semuanya. Tentang masa laluku, orang tuaku.

---

"Sur, kamu kenapa?", Kyai Mojo menghentikan penjelasannya, dan menatapku penuh tanda tanya. Ah...iya, ternyata mataku terasa panas. Sedikit lagi sudah menganak sungai. 

"Tidak apa-apa, Kyai", bergetar suaraku.

"Yakin?", tanya kyai menyelidik

"Iya", jawabku lirih

"Nanti setelah pertemuan hari ini selesai kita bicara sebentar, ya", kata kyai lembut. 

Aku cukup beruntung bisa bertemu dengan kyai Mojo ini. Banyak ilmu tentang kehidupan yang aku dapatkan dari beliau. Melalui beliaulah akhirnya aku bisa mengenal Islam dan mempelajari Al Qur'an dengan baik. Ketulusan dan keikhlasan beliau dalam menyampaikan risalah membuat beberapa mata hati penduduk desa ini untuk menerima cahaya Illahi. 

Waktu itu, saat aku masih berusia sekitar lima tahun aku bertemu beliau. Aku sedang menaruh sesaji di dekat pohon besar dekat sendang. Kyai baru saja mengambil air wudu. Dari kejauhan aku mengamatinya. Satu persatu gerakan kulihat, aku sangat takjub melihatnya. Selang beberapa lama kemudian, beliau menggelar sajadah di pinggiran. Melaksanakan sholat dengan khusuk. Kulihat lagi lebih dalam. Beliau sedang menangis sesenggukan seperti sedang mengajukan hajat sambil menengadahkan kepala. Syahdu dan semakin sejuk. Belum pernah aku melihat prosesi sembahyang sehebat itu. Bahkan kakekku yang katanya paling baik di antara pengikut kepercayaan yang lain tidak pernah sedahsyat ini getarannya dalam dadaku.

Aku mendekati Kyai, lalu saat itu ada perbincangan hangat. Hingga akhirnya aku mengerti dan rasanya lebih logis dan jelas pelajaran sang Kyai. Mulai hari itu aku mengucapkan dua kalimat syahadat dan menjadi murid wanita pertama kyai.

Mungkin saat aku bicara dengan kyai, aku ingin bertanya kepada beliau mengenai orang tuaku. Konon beliau ke desa ini setahun sebelum aku lahir. Jadi, pasti Kyai tahu cerita tentang orang tuaku.

0 comments:

Posting Komentar

Banyak Dilihat

Pengikut

Pengunjung

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Labels

inspirasi tania. Diberdayakan oleh Blogger.