Lagu Bulan Desember


 

 Desember- Beberapa hari ini sering banget liat tanggalan di bulan Desember. Rasanya aku sedang menunggu sesutu di bulan ini. Entah di tanggal berapa yang aku tunggu sebenarnya. Apa ini karena memang aku yang sedang tidak baik-baik saja dari kemarin? 


Selama hampir satu bulan ini aku merasa sedang tidak menjadi aku. Hidup rasanya hanya itu-itu saja. Banyak keinginan yang ingin dilakukan tetapi ada penghalang yeng belum dapat aku kalahkan. Terasa kosong dan tidak bertenaga. Berasa ya sudahlah. 


Sampai kemarin aku mencari refrensi tentang kesehatan mental, ah masak sih aku mengalami depresi mayor. Meski ga sampai level pengen mengakhiri hidup sih. Yakali, aku masih memiliki banyak sekali misi yang belum selesai.


Aku tidak tau kemana jiwaku yang dulu. Meski keliatan banget aku sedang lemah secara spiritual. Semua perlu di perbaiki. Mungkin Desember ini ingin mengajak aku untuk menata hidup kembali. Menjadi orang yang lebih bermakna.


Perlu melakukan banyak hal baru. Keluar rumah menyapa banyak orang, berbagi isi kepala dan melakukan tindakan nyata. Aku tidak bisa hanya terdiam dan menghitung hari-hari sampai tahun ini habis.


Semua permasalahan yang aku hadapi tidak membutuhkan orang lain dalam penyelesaiannya. Hanya butuh Allah yang membantu. Karena sebenarnya yang aku alami adalah permasalahan pada diri sendiri. Kehilangan jiwa emm apa ya yang lebih tepat. Apakah aku kehilangan gairah?


Sepertinya aku harus kembali mengingat, bahwa ada amanah besar yang harus diselesaiakan. Ada banyak keinginan yang harus diwujudkan. Semua tidak akan pernah terjadi jika aku hanya seperti ini. 


Ayo, perbaiki semuanya. Give up! Be the best! Tata ulang lalu lakukan.

Read More

Tusuk Konde End (Membuka Tabir)




"Bapak ibumu sering ritual di kali. Mereka melakukan ritual di dalam air. Hingga kemudian Ratu Pantai Selatan marah mengirim banjir bandang. Jasad Meraka mungkin sudah sampai istana Ratu Kidul. Kamu selamat, dan terdampar di ujung pohon besar dekat kali. Tempat kamu dulu menaruh sesaji." Jawab kakek.

Apa? Ratu pantai selatan? Ini sangat tidak masuk akal dan tidak mungkin sekali. Kenapa aku malah merasa kedua orang tuaku masih hidup, ya. Kuambil tusuk konde milik ibuku. Eh, ternyata bisa diputar. Ada isi di dalamnya.

---
Kuurungkan niatku untuk membukanya lebih dalam. Firasatku mengatakan tidak boleh membuka ini di hadapan Mbah Kakung.

"Lalu, setelah itu Mbah Kakung merawatku?", tanyaku

"Iya, aku mengambilmu dan merawatmu seorang diri. Karena sebenarnya, aku hanya punya ibumu saja di dunia ini. Kurawat kamu dengan bantuan beberapa tetangga. Aku ini laki-laki, kurang telaten merawat bayi. Mbok Sumi yang sering membantu ku", kenang kakekku 

"Terimakasih ya, Mbah...di sisa waktu hidup Mbah Kakung masih mau merawat aku dengan baik. Anak dari orang yang mungkin Mbah tidak suka", kataku sambil terisak

"Nduk, melihat matamu itu selalu mengingatkan aku kepada ibu da Mbah putrimu. Kalian, cantik. Lagipula mana tega aku menyia-nyiakan satu-satunya anggota keluarga yang tersisa", jawab kakek sambil memelukku.

"Mbah, kotak ini boleh buat Suryati?", tanyaku sambil menunjukkan kotak kayu yang berisi foto dan sebuah tusuk konde.

"Boleh, Nduk. Itu memang punyamu. Mbah, merasa lega sudah bisa menceritakan ini padamu. Rasa sakit yang kupendam bertahun-tahun sendirian. Jangan tinggalkan Mbah sendirian, ya?", perkataan yang sangat jarang bahkan tidak pernah keluar dari mulut Mbah Kakung. Perkataan ini mengubah persepsi tentang seorang kakek di mataku. Selama ini aku selalu merasa aku punya Mbah yang kaku, galak, dan tidak mau menerima informasi baru. Tetapi, sekarang aku melihat beliau menjadi laki-laki tua penuh kehangatan dan sayang terhadap keluarganya. 

Kalau kata Kyai Mojo, memiliki kecemburuan terhadap keluarganya. Sehingga muncul rasa ingin melindungi setiap anggota keluarga.

Setelah berbicara dengan kakek, aku izin untuk kembali ke kamar. Rasanya aku lelah sekali seharian ini. Rahasia besar tentang hidupku sudah mulai terkuak. Meski aku masih harus memastikan, upacara apa yang dilakukan oleh ayah dan ibu di dalam sungai? Benarkah mereka dibawa oleh ratu Pantai Selatan?

Kusandarkan badan ke dipan, sambil mencoba membuka tusuk konde ini dengan perlahan. Kalau menurut cerita kakek, tusuk konde ini adalah perhiasan turun temurun keluarga Mbah Putri. Kuputar pelan-pelan, ada kertas di dalamnya. Tetapi aku tidak bisa membacanya. Tidak menggunakan bahasa seperti biasa. Ini tulisan arab, tanpa harokat. Ya Allah bacanya gimana coba. Kyai Mojo belum mengajari aku membaca tulisan semacam ini. Owhh...iya kyai Mojo, besok aku harus menemuinya.

---
Siang hari, sebelum kelas Qur'an a dimulai aku memberanikan diri menemui kyai Mojo. Aku menceritakan apa yang aku dapatkan tadi malam. Kemudian aku bertanya, "Apakah ayah ibu saya akhirnya menjalani kehidupan yang sesat? Sampai-sampai melakukan ritual di bawah air?"

Kyai Mojo terlihat tersenyum saat aku bertanya. Lalu menjawab, "Ayah dan Ibumu adalah sepasang suami istri yang taat. Aku menjadi saksi atas kebaikan mereka. Ritual yang disebutkan oleh Mbah Kakung mu itu adalah sholat di dalam air".

"Lhoh??", Aku sedikit terpejerat dan kaget. 

"Waktu itu untuk melindungi keislaman dari ibumu ayahmu mengajak untuk melakukan itu saat berada di luar rumah. Meski kakekmu pemimpin aliran kepercayaan tetap saja beliau sangat sayang kepada Rukmini. Dia tidak punya kuasa untuk menahan reaksi para anggotanya jika mengetahui Rukmini telah berpindah keyakinan. Akhirnya mereka sholat di bawah air", jelas kyai Mojo.

"Tapi, sepertinya kakek sangat benci dengan ayahku dan tidak suka dengan pernikahan orang tuaku", tanyaku penuh keheranan.

"Iya betul, tetapi sebenarnya Mbah Djati sangat hormat kepada ayahmu. Walau bagaimanapun dia adalah prajuritnya Pangeran Diponegoro. Di mata Mbah Djati, Syekh Ahmad Ali Syakieb adalah abdi dalem dan tamu istimewa untuk keraton. Yang membuatnya tidak suka adalah karena Rukmini jadi meninggalkan "agama" lamanya". Kyai Mojo menjelaskan panjang kali lebar.

"Waktu mereka sedang melakukan sholat di dalam air, tiba-tiba ada banjir bandang. Waktu itu hujan lebat terjadi di lereng sumbing. Sehingga volume air sungai menjadi sangat besar. Tetapi, penduduk mengira itu adalah amukan Ratu Kidul. Padahal tidak seperti itu kejadiannya." Jelas Kyai Mojo.

"Kyai bisa bantu saya untuk membaca ini?", Kutunjukkan kertas berwarna coklat itu kepada kyai Mojo. "Saya mendapatkannya dari tusuk konde yang katanya warisan turun temurun dari keluarga Mbah Putri", imbuhku

Sekejap mata Kyai Mojo nampak terkejut. "Boleh lihat tusuk kondenya?", suara kyai Mojo tampak bergetar. Lalu aku serahkan tusuk konde itu kepada beliau.

Tiba-tiba, air mata beliau menetes kemudian berkata, "Inilah akhir pencarianku selama ini".

"Maksud Kyai?", tanyaku penuh keheranan.

Terlihat Kyai mengeluarkan sesuatu dari balik jubahnya. Ternyata tusuk konde yang bentuknya sama hanya warna saja yang berbeda.

"Ini adalah tusuk konde yang sama dengan punya ibumu. Tusuk konde ini hanya ada dua di dunia. Dibuatkan secara khusus oleh orang tuaku dan diserahkan kedapa putra dan putrinya. Suatu hari, putri kesayangannya hilang di tengah perjalanan. Aku, mendapat wasiat dari ayahku untuk mencari pemilik tusuk konde itu, kakakku. Ya, Suryati ...kamu adalah cucu keponakanku." Jelas kyai Mojo dengan suara parau.

"Ayo ikuti aku..." lanjut Kyai.

Aku masih syok, ternyata Mbah Putri kakaknya Kyai Mojo. "Owhh... iya kyai", jawabku terbata tak percaya 

Aku dibawa oleh kyai Mojo menuju belakang Langgar. Ternyata disana ada dua makam. Bertuliskan nama Rukmini dan Ali. "Ini malam ayah dan ibu saya?", tangisku sudah tidak bisa dibendung lagi 

"Ya, waktu itu aku melihat jasad mereka. Sengaja aku tidak memberi tahu Mbah Djati. Agar pemakaman mereka bisa dilakukan secara Islam. Aku dibantu beberapa santri dari kota, merawat jenazahnya", jelas kyai Mojo

"Isi dari tusuk konde ini adalah, berpegang teguhlah kepada 5 perkara yaitu rukun Islam. Kamu memiliki darah keturunan kyai Besar di tanah Jawa ini. Cucu keponakanku", pungkas kyai Mojo.

Aku masih terisak, tidak percaya... Kubuka mata, ternyata masih di kamar. Ah.... mimpi aneh apalagi ini. Aku harus menemui kyai Mojo pagi ini juga.
Read More

Tusuk Konde Part 6 (Rukmini dan Ali)



Dengan perlahan aku mulai menggeledah isi lemari. Meskipun aku yang biasa mencuci dan melipat baju Kakek, tetapi tidak pernah boleh menata baju di lemarinya. Ora elok, katak Kakek. Menurut kakek tidak etis jika seorang cucu masuk ke kamar kakeknya. Ada satu kotak hitam, ternyata isinya adalah tusuk konde. Aku tidak mengerti, apa ini? Dibawahnya ada selembar kertas foto. Seorang wanita dengan rambut di sanggul dan menggunakan tusuk konde ini. Dia cantik, apakah dia ibuku?

------
Karena saking asiknya melihat foto itu, aku jadi tidak menyadari keberadaan kakek yang sudah ada di belakangku.

"Ngapain kamu di situ Suryati!", Suara kakek membentak, membuatku kaget.

"Mbah Kakung....", Suaraku pelan dan bergetar. Kotak di tanganku hampir terjatuh.

"Lancang kamu! Apa ini ajaran si Mojo itu? Berani kamu melawan Kakung mu sendiri? Hahh! Aku ini orang yang merawatmu sejak kamu masih bayi merah. Saat orang tuamu meninggalkanmu. Ini balasannya?", Aku tidak pernah melihat mata kakek yang seperti ini. Benar, beliau sangat marah sepertinya.

"Mbah...", suaraku parau. Aku mulai terisak-isak.

"Apakah salah jika aku ingin tau siapa orang tuaku? Siapa namanya, bagaimana orangnya, kenapa mereka meninggalkan aku saat masih bayi. Jika memang benar mereka meninggal, lalu dimana makamnya?", tanyaku masih dengan suara bergetar.

"Aku sebentar lagi 17 tahun, Mbah...sudah besar. Sudah sepantasnya aku tau tentang masa laluku. Tapi, Mbah dan seluruh penduduk desa ini seolah menutupi semuanya. Aku ingin tahu....Mbah! Tolong...", air mataku mulai tidak bisa dikontrol. Seluruh kesedihan dan rasa penasaran kutumpahkan juga akhirnya.

Melihat aku menangis, luluh juga hati kakek. Sekeras-kerasnya kakek, dia tidak akan tahan melihat air mataku. Itu juga alasan kenapa kakek sampai hari ini tidak melarang aku untuk belajar dengan Kyai Mojo. Disadari atau tidak, aku adalah segalanya untuk beliau.

Hanya aku satu-satunya keluarga yang dimiliki. Pakde Marto dan keluarganya mengalami kecelakaan. Padahal dia adalah satu-satunya saudara ibu. Ibuku? Entah dimana rimbanya akupun tak tahu. 

"Foto yang kamu pegang adalah foto ibumu. Namanya Rukmini. Cantik seperti kamu, Nduk", kalimat itu akhirnya muncul. Benar saja kakek menyerah di hadapan air mataku. Tahu begini sejak dulu aku nangis merengek-rengek. 

"Dan tusuk konde itu, miliki ibumu. Ibumu adalah penari yang menjadi primadona di kampung kita ini. Dia baik dan selalu menebarkan kebahagiaan. Sifatnya, tutur katanya lembut. Sangat mirip denganmu", imbuh kakekku.

Lho kok? Ibuku penari? Kata Kyai Mojo ibuku seorang muslim yang taat. Kenapa jadi begini? Apa mungkin ibuku mengenal islam lantaran ayahku? Aku menyimpan kalimat ini di dalam hati. Sambil menunggu penjelasan lanjutan dari kakek. Siapa tau, beliau akan memberitahu ku lagi. 

"Ahh ibuku cantik sekali... jadi, aku adalah Suryati Putri Rukmini Binti Djati Sasongko Adji", kataku memotong cerita kakek.

"Iya, benar...", kalimat yang keluar dari kakek sambil mengelus kepalaku.

"Ibumu cantik. Banyak sekali orang yang ingin mendapatkannya. Dia adalah gadis desa. Bukan hanya penduduk sini, kecantikannya tersohor sampai kabupaten. Pernah salah satu anak Bupati ingin menikahinya. Tetapi dia menolak. Malah dia lebih tertarik dengan seorang laki-laki tidak tahu diri itu ", penjelasan kakek mulai nyambung dengan penjelasan kyai Mojo. Benar, kakekku tidak merestui hubungan mereka. 

Aku masih diam, dan menunggu ceritan lanjutan Kakek.

"Laki-laki asing itu berasal dari daerah selatan. Dia mengaku sebagai anggota pelarian dari perang Jawa. Termasuk laskarnya Pangeran Diponegoro. Wajahnya bukan wajah Jawa. Jelas guratan tampang Arabnya. Apa kamu nggak sadar, wajahmu itu bukan wajah gadis Jawa? Hanya matamu yang benar-benar mirip ibumu". Setelah aku mendengar penjelasan itu secara refleks melihat kaca. Ah, benar juga hidungku terlalu mancung jika dibandingkan hidung ibu di foto.

"Aku tolong dia untuk bersembunyi, kubiarkan dia menginap disini. Eh, malah menjalani hubungan dengan Rukmini di belakang ku. Dia baik sebenarnya, tetapi tidak memenuhi kriteria sebagai menantuku. Dia itu sejenis si Mojo. Tidak mengenal sesajen, kembang, dan menyan. Hanya bedanya, dia menentang secara diam-diam dan perlahan. Makanya aku bisa tertipu olehnya. Dia mengambil Rukmini ku dari adat kebiasaan gadis Jawa. Rumkini tidak mau lagi menjalankan ritual bersamaku. Persis sekali denganmu. Rukmini juga...anak keras kepala. Tidak tahu diuntung". Cerita kakek dengan intonasi yang cukup beragam. Ada marah, sedih, kecewa.

"Siapa nama ayahku, Mbah?" Tanyaku tidak sabar.

"Namanya, Ahmad Ali Syakieb, dia mengaku sebagai pasukan Diponegoro. Dia adalah suruhan Usmani, begitu ngakunya. Aku menghargainya karena membawa na besar keturunan keraton. Kalau bukan, mana Sudi aku." Jawab kakek.

"Kalau tentang mereka akhirnya meninggalkan aku?", Ini adalah part penting yang tidak boleh dilewatkan.

"Bapak ibumu sering ritual di kali. Mereka melakukan ritual di dalam air. Hingga kemudian Ratu Pantai Selatan marah mengirim banjir bandang. Jasad Meraka mungkin sudah sampai istana Ratu Kidul. Kamu selamat, dan terdampar di ujung pohon besar dekat kali. Tempat kamu dulu menaruh sesaji." Jawab kakek.

Apa? Ratu pantai selatan? Ini sangat tidak masuk akal dan tidak mungkin sekali. Kenapa aku malah merasa kedua orang tuaku masih hidup, ya. Kuambil tusuk konde milik ibuku. Eh, ternyata bisa diputar. Ada isi di dalamnya.



Read More

Tusuk Konde Part 5 (Pencarian)



Punggung Kyai Mojo semakin jauh. Aku masih duduk di serambi. Mencerna apa saja informasi yang aku dapatkan. Aku cukup lega, karena Bapak dan Ibuk menurut cerita itu adalah orang baik. Dan ternyata beliau berdua adalah muslim.

--
Saatnya aku pulang. Meski hari masih sore tapia gelap sudah mulai datang. Matahari sudah bersembunyi sedari tadi. Kabut pekat dan dingin sudah mulai turun. Butuh penerangan untuk menembus jalan.

Hari ini aku cukup bahagia mendengar penuturan Kyai Mojo. Satu hal yang akan aku lakukan. Mencari jejak ayah dan ibuku di rumah. Aku yakin, kakek pasti menyimpan sesuatu sebagai petunjuk. Barang ibuku atau sukur-sukur fotonya ada disimpan kakek. Tidak mungkin aku bertanya langsung kepada kakek. Kalau melihat hubungan di masa lalu sepertinya kakek marah dan kecewa dengan ibuku. Tapi sekaligus menjadi tanda tanya, kenapa kakek sangat baik denganku. Bahkan ketika akhirnya aku memilih untuk menjadi muslimah ekspresi kakek hanya marah sehari namun kemudian membiarkan aku terus belajar. Meski beliau akan diam dan bersikap dingin setiap aku pergi ke langgar untuk belajar agama dengan kyai Mojo.

"Kulo nuwun, Mbah...", Salamku saat berada di depan pintu. Iya, tidak dengan ucapan salam seperti biasanya, kan kakekku tidak berkenan aku melakukan itu.

"Eh, ada tamu, to? Monggo Pak De..", ternyata di dalam kakekku tidak sendiri, beliau sedang bersama Pak De Tejo. Saudara sepupu ibu dari garis Mbah Jati.

"Iyo, Nduk. Darimana? Kok baru pulang?", Tanyanya

"Biasa dia, sudah kena bujuk rayu si Mojo pendatang itu. Belajar dia sama dia", jawab kakekku dengan nada tidak suka.

"Lhohhh....", Singkat tapi padat dan bermakna apalagi disertai mata yang terbelalak dari Pakde Tejo.

Aku hanya bisa tersenyum tipis dan miris. "Eh, belum ada minum, sebentar njeh Pakde", kataku coba untuk mengalihkan perhatian.

Aku yakin, setelah ini Mbah Jati, kakekku pasti akan menceritakan segala hal buruk tentang kyai Mojo. Seperti biasa, akan mengungkit tentang pendatang yang ingin mengubah tatanan. Baru juga datang sudah memprovokasi warga untuk tidak melakukan ruwat rigen. Terlalu banyak kemusyrikan katanya. Mbah Jati sering bilang bahwa, para wali saja yang menjadi pendahulunya mau meleburkan diri dengan budaya masyarakat. Lah, Kyai MoJo... terlalu kaku untuk diterima di masyarakat pada awalnya.

"Monggo, Pakde..." Tawarku kepada sepupu kakek ini. Sekaligus memotong cerita kakak.
"Tidak duduk sini dulu, Sur?", Tanya pakde.
"Saya masih harus mengerjakan banyak tugas, pakde"
"Tugas apa? Tugas dari Mojo?", Kalimat pakde penuh introgasi. 
"Bukan, pakde. Saya sedang ikut kejar paket. Biar pinter dan bisa mencari pekerjaan nantinya", tetap kucoba tersenyum menanggapi pertanyaan pakde.

Aku tinggalkan dua sepupu itu untuk meneruskan ceritanya. Mumpung kakek masih bercerita di ruang depan ini saatnya aku menjalankan misi. Mencari apapun itu. Aku coba masuk kamar kakek. Tidak sopan memang yang aku lakukan ini. Tetapi tidak ada jalan lain. Aku harus menemukan jejak dari kedua orangtuaku. Tidak mungkin aku terlahir dari batu. Pasti ada rahim yang melahirkan ku. Dan itu adalah putri dari Mbah Jati. 
Misi pertamaku adalah mencari kartu keluarga atau dokumen lain. Sebagi informasi, aku belum tau siapa namanya. Tadi sore kyai Mojo belum menceritakan padaku 

Dengan perlahan aku mulai menggeledah isi lemari. Meskipun aku yang biasa mencuci dan melipat baju Kakek, tetapi tidak pernah boleh menata baju di lemarinya. Ora elok, katak Kakek. Menurut kakek tidak etis jika seorang cucu masuk ke kamar kakeknya. Ada satu kotak hitam, ternyata isinya adalah tusuk konde. Aku tidak mengerti, apa ini? Dibawahnya ada selembar kertas foto. Seorang wanita dengan rambut di sanggul dan menggunakan tusuk konde ini. Dia cantik, apakah dia ibuku?
Read More

Hutang adalah Hutang



Terkadang kita harus berhati-hati dengan lintasan pikiran kita. Baru saja tadi kepikiran, ih kalau di ODOP buat cerbung terus jadinya spaneng nih mengelola blog. Boleh kali ya, sesekali up date blog dua kali. Satunya lanjutan part cerbung satunya memang tulisan untuk melepas lelah dan penat. Baru banget tadi siang kepikiran seperti itu, tiba-tiba malam ini buka grup SSD mendapatkan infromasi bahwa semua hutang harus dibayar meskipun, poin mencukupi. Auto inget dong, ada satu atau dua tulisan yang belum dibayar. Ini lagi, pakai acara lupa berapa jumlah hutangnya. Kayaknya satu deh, ah perlu di cek ini.

Dalam islam, yang namanya hutang tetap harus dibayar. Bahkan Allah tidak akan mengampuni seseorang yang belum membayar hutang meskipun dirinya mati syahid. Adil sih ini, karena akadnya tetap pinjam. Kita tidak pernah tau apa yang terjadi pada pemberi piutang setelah meminjamkan uangnya. Bisa jadi itu adalah tabungannya setelah sekian lama, kemudian dia menunda hajatnya karena ingin menolong kita. Bisa jadi itu adalah laba yang disisihkan sedikit demi sedikit dan ingin dijadikan penambah modal usaha. Jahat banget jatuhnya kalau yang dipinjami tidak membayar hutangnya. Apabila kita meminjam secara baik-baik alangkaj bijaksananya jika kita juga berusaha untuk mengembalikan dengan baik

 Akhir-akhir ini kita menemui sebuah fenomena dimana pemberi pinjaman malah menjadi seperti orang yang meminta sesuatu. Sudah berbagai macam cara dilakukan tetapi tetap uangnya tidak juga dikembalikan. Saat terjadi aktivitas pinjam meminjam ada baiknya ada akad di antara kedua belah pihak. Terutama mengenai kapan hutang itu akan dibayarkan. Pastikan juga saat melakukan pinjam meminjam tidak ada riba di dalamnya. Dosanya kan ngeri banget.

Saking perhatiannya Allah mengenai hutang piutang ini ada satu ayat panjang sekali yang menjelaskan mengenai tata cara uatang piutang. Ada satu insight yang mengena banget, jika kita memiliki hutang maka catatlah. Hal ini agar kita tidak lupa dengan hutang yang kita miliki. Besar ataupun kecil hutang tetaplah hutang. Seperti tulisan saya di tantangan ODOP, meski poin mencukupi untuk tidak di kick tetap saja kan, namanya hutang. Lunas yaaa.

 

Read More

Tusuk Konde Part 4 (Titik Terang Pertama)



Waktu itu, saat aku masih berusia sekitar lima tahun aku bertemu beliau. Aku sedang menaruh sesaji di dekat pohon besar dekat sendang. Kyai baru saja mengambil air wudu. Dari kejauhan aku mengamatinya. Satu persatu gerakan kulihat, aku sangat takjub melihatnya. Selang beberapa lama kemudian, beliau menggelar sajadah di pinggiran. Melaksanakan sholat dengan khusuk. Kulihat lagi lebih dalam. Beliau sedang menangis sesenggukan seperti sedang mengajukan hajat sambil menengadahkan kepala. Syahdu dan semakin sejuk. Belum pernah aku melihat prosesi sembahyang sehebat itu. Bahkan kakekku yang katanya paling baik di antara pengikut kepercayaan yang lain tidak pernah sedahsyat ini getarannya dalam dadaku.

--
Pertemuan kali ini ditutup manis dengan kisah hidup Uwais al-Qarni. Tidak harus dengan menggendong sapi naik turun gunung, cukup dengan menjadi anak sholih dan baik kita bisa menjadi penerang saat di akhirat nanti. Tetap saja ada pertanyaan dalam diriku, apakah kedua orang tuaku seorang muslim? Kadang ngeri sendiri membayangkan ini.

"Sur, kita bicara di serambi timur, ya", kata Kyai Mojo saat aku sedang menata alat tulis.

Tanpa ba-bi-bu aku langsung mengekor kyai Mojo. Berasa campur aduk perasaanku, tapi aku cukup senang diajak bicara dengan Kyai Mojo. Artinya aku punya kesempatan untuk mencari petunjuk mengenai kedua orangtuaku.

"Tadi kami kenapa, Nduk? Sepertinya gelisah dan raut mukamu menunjukkan kesedihan mendalam", kalimat pembuka dari Kyai Mojo yang membuat aku harus menarik nafas terlebih dahulu sebelum menjawabnya.

"Begini, pak Yai. Sewaktu njenengan cerita tentang bakti seorang anak kepada ibunya, tiba-tiba saya ingat dengan bapak dan ibuk. Dua orang yang harusnya paling saya cintai setelah Allah dan Rasul-Nya tetapi saya benar-benar buta mengenai keduanya. Bahkan, makamnya dimana saya tidak tahu. Bagaimana bisa kedua orang tua saya meninggal? Muslimah mereka? Atau seperti Mbah Kakung?", Isakku mulai memecam keheningan.

Pak kyai tampak menatapku tajam tetapi sorot matanya masih menyimpan beberapa luka. 

"Apakah pak kyai dapat memberi infomaasi tambahan memgenai ayah saya?" tatapanku menyimpan seribu bahasa. 

"Apakah selama ini kamu belum pernah mendengar alasan mereka menghilang?"

"Belum, Yai", jawabku singkat

"Baik, aku akan menceritakan tentang ayah dan ibumu". 

"Ibumu adalah seorang gadis desa cantik dengan paras rupawan. Siapapun yang melihatnya pertama kali pasti akan tunduk dan bisa memberikan apapun diminta. Kehidupannya normal, sampai kemudian dia berusia untuk mencari jalan Tuhan, disinilah anak itu bisa tinggal. Sedangkan ayahmu adalah teman perjuanganku. Kami berdua saling support dalam mendakwahkan aja. Hingga suatu waktu mereka bertemu dan berlanjut kepada hal serius, pernikahan". jelas Kyai Mojo.

"Jadi, bapak dan ibuk saya seorang muslim yang taat?" Tanyaku.

"Ya, mereka berdua adalah hamba Allah yang sangat taat. Mereka baik dan saling menyayangi, tetapi terhalang restu kakekmu. Tapi, bapak ibumu nekat tetap melakukan pernikahan", sambung kyai Mojo

"Kyai, nuwun ngapunten. Wonten tamu madosi penjenengan", kata mbak Santi menyampaikan pesan.

"Owh baiklah, minta menunggu sebentar ya. Saya sedang ada perlu dengan ponakan tercinta". Jawab kyai Mojo

"Sur, perbincangan kita hari ini sudah dulu ya. Lain waktu kita sambung lagi".

"Baik pak Kyai", jawabku.

Punggung Kyai Mojo semakin jauh. Aku masih duduk di serambi. Mencerna apa saja informasi yang aku dapatkan. Aku cukup lega, karena Bapak dan Ibuk menurut cerita itu adalah orang baik. Dan ternyata beliau berdua adalah muslim.
Read More

Tusuk Konde Part 3 (Campuran Masa Lalu)



POV Suryati

Mendengar penjelasan Kyai Mojo hatiku menjadi tidak karuan. Rasanya ingin teriak dan meluapkan segala rasa yang membuncah. Aku benar-benar isi dengan Uwais Al Qarni. Meskipun hal yang dilakukannya berat, paling tidak dia masih bisa berbincang dengan ibunya. Masih bisa memuliakannya, masih bisa merasakan hangatnya pelukan. Aku, si gadis desa biasa benar-benar menantikan keajaiban mengenai kabar dari kedua orang tuaku. Tak terima rasanya dengan rencana takdir Allah, tak adil jika seperti ini, aku menjadi yatim piatu sejak lahir. Harus hidup dengan seorang kakek yang tidak mengerti ilmu agama. Bahkan ketika dikonfirmasi ternyata beliau adalah pemimpin aliran kepercayaan. Sudah jelas tidak mungkin aku bisa seperti Uwais, yang mengajak orang tuanya menyempurnakan rukun Islam.

Arghh seandainya ibuku masih ada pasti aku akan mencoba membawa sapi naik turun gunung Sumbing. Aku ingin berlatih agar kuat membawa ibuku. Aku sangat ingin menjadi anak berbakti, aku ingin membasuh kaki ibu, menyiapkan teh panas untuk bapak. Allah, tidak berhakkah aku menjadi manusia sewajarnya? Seperti teman-teman lainnya? Bahkan sampai hari ini nyekar ke makamnya saja belum. Hanya merapalkan doa di akhir sholat untuk mereka. 

Kenapa semua orang di desa ini seolah menutupi tentang orang tuaku. Apa salah mereka pada desa ini? Setiap aku mencoba bertanya tentang kedua orangtuaku langsung seketika mengalihkan pembicaraan. Bukan hanya kakekku bahkan kyai Mojo juga begitu. Aku sekarang sudah besar, aku yakin pasti bisa menerima kenyataan. 

Apakah ayah dan ibuku tiada tanpa meninggalkan jasad? Sampai tidak ada makam beliau berdua? Aku perlu mencari petunjuk semua misteri itu sendiri. Bulan depan aku sudah berusia 17 tahun. Aku sudah besar, aku berhak tau semuanya. Tentang masa laluku, orang tuaku.

---

"Sur, kamu kenapa?", Kyai Mojo menghentikan penjelasannya, dan menatapku penuh tanda tanya. Ah...iya, ternyata mataku terasa panas. Sedikit lagi sudah menganak sungai. 

"Tidak apa-apa, Kyai", bergetar suaraku.

"Yakin?", tanya kyai menyelidik

"Iya", jawabku lirih

"Nanti setelah pertemuan hari ini selesai kita bicara sebentar, ya", kata kyai lembut. 

Aku cukup beruntung bisa bertemu dengan kyai Mojo ini. Banyak ilmu tentang kehidupan yang aku dapatkan dari beliau. Melalui beliaulah akhirnya aku bisa mengenal Islam dan mempelajari Al Qur'an dengan baik. Ketulusan dan keikhlasan beliau dalam menyampaikan risalah membuat beberapa mata hati penduduk desa ini untuk menerima cahaya Illahi. 

Waktu itu, saat aku masih berusia sekitar lima tahun aku bertemu beliau. Aku sedang menaruh sesaji di dekat pohon besar dekat sendang. Kyai baru saja mengambil air wudu. Dari kejauhan aku mengamatinya. Satu persatu gerakan kulihat, aku sangat takjub melihatnya. Selang beberapa lama kemudian, beliau menggelar sajadah di pinggiran. Melaksanakan sholat dengan khusuk. Kulihat lagi lebih dalam. Beliau sedang menangis sesenggukan seperti sedang mengajukan hajat sambil menengadahkan kepala. Syahdu dan semakin sejuk. Belum pernah aku melihat prosesi sembahyang sehebat itu. Bahkan kakekku yang katanya paling baik di antara pengikut kepercayaan yang lain tidak pernah sedahsyat ini getarannya dalam dadaku.

Aku mendekati Kyai, lalu saat itu ada perbincangan hangat. Hingga akhirnya aku mengerti dan rasanya lebih logis dan jelas pelajaran sang Kyai. Mulai hari itu aku mengucapkan dua kalimat syahadat dan menjadi murid wanita pertama kyai.

Mungkin saat aku bicara dengan kyai, aku ingin bertanya kepada beliau mengenai orang tuaku. Konon beliau ke desa ini setahun sebelum aku lahir. Jadi, pasti Kyai tahu cerita tentang orang tuaku.

Read More

Banyak Dilihat

Pengikut

Pengunjung

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Labels

inspirasi tania. Diberdayakan oleh Blogger.